Sore Itu, Pukul 3 Di Kereta Tujuan Yogyakarta

 




Kota Yogyakarta, kota yang menarik perhatianku ketika aku menonton film Ada Apa Dengan Cinta 2. Film yang membuatku tertarik untuk mengunjungi kota itu. Bukan hanya keindahannya yang membuatku tertarik. Tetapi juga, kisah cinta yang ku harap akan semanis kisah Rangga dan Cinta.

Dan harapanku itu terjadi, tetapi bukan kisah cinta yang ku harapkan akan terjadi di Yogyakarta. Tetapi diawali dengan sebuah pertemuan tidak terduga ketika aku dalam perjalanan menuju Yogyakarta. Ya, mungkin, kalian pernah bertemu dengan seseorang, seseorang yang membuat kalian langsung tertarik hanya dengan menatap matanya saja secara singkat.

Seperti yang aku rasakan. Pukul 3 sore, di kereta tujuan Yogyakarta, aku duduk di kursi yang bersebelahan langsung dengan jendela. Mulanya, aku hanya duduk sendirian. Saat itu, gerbong tempatku saat ini bisa dibilang sepi, hanya ada segelintir orang.

Aku sengaja menyimpan tas ranselku di kursi yang berada tepat di sampingku, supaya tidak ada orang yang duduk di sana. Tetapi, ketika tiba-tiba saja seorang pria berperawakan jangkung, dengan mata sendu yang begitu memukau membuatku dengan cepat mengambil tas ransel dari kursi di sampingku,  secara tidak langsung aku memang telah mempersilahkannya duduk di sana, jika dia mau.

"Boleh duduk di sini?" Tanyanya sejurus kemudian. Aku mengangguk, lalu sedikit tersenyum tipis. Matanya, begitu memukau. Bahkan, hanya menatapnya sebentar saja sudah membuatku terpesona, dan jujur saja, dia adalah pria pertama yang memberikan kesan berbeda meski hanya dengan menatap matanya.

Aku menggeser sedikit posisiku. Dia sudah duduk di sampingku. Begitu dekat, sampai bahu kami sempat bersentuhan beberapa detik sebelum akhirnya aku menggeser sedikit posisiku. Kami masih saling diam, pria itu, memejamkan matanya. Aku diam-diam meliriknya, pria itu tidak terlalu tampan, tidak yang begitu sempurna. Tetapi, memiliki mata sendu yang memukau.

Mendadak, aku gugup. Padahal hanya duduk bersisian tanpa ada obrolan di antara kami. Aku memaksakan mataku untuk terpejam. Padahal, sebenarnya aku tidak ingin tertidur. Aku mendekap erat-erat tas ranselku. Dan anehnya, jantungku berdebar ketika tiba-tiba kepala pria asing itu tergolek ke arah ku. Alhasil, aku bisa melihat wajahnya begitu jelas.

Aku memejamkan mataku lagi setelah melihatnya. Sampai tiba-tiba, pria itu berdehem, aku membuka mataku perlahan, dan pria itu sudah membuka matanya dan mengubah posisinya jadi terduduk tegap. Aku meliriknya lagi, tetapi kali ini, dia juga melirik ke arahku. Kalian bisa membayangkan apa yang terjadi. Ya, tatapan kami bertemu, dan itu membuatku semakin gugup tak karuan.

Dia lalu membuka suaranya "Kita belum kenalan, Janu." Pria itu sudah mengulurkan tangannya ke arahku, aku menatap tangannya lalu mendongak ke arahnya. Menerima uluran tangannya dengan gugup lalu aku mulai menyebutkan namaku "Hani," ucapku.

Pria itu, tidak. Sepertinya, sekarang aku harus menyebutnya Janu. Ya, Janu mangut-mangut lalu tersenyum tipis ke arahku. Pria itu terdiam lagi, kali ini perhatiannya teralih ke arah layar ponselnya, aku mengintipnya sebentar dan sepertinya Janu sedang mengetik balasan pesan dari seseorang.

Sementara aku, mengarahkan pandanganku ke arah luar jendela. Sebelumnya, jantungku tidak pernah berdebar hebat ketika bertemu dengan seorang pria. Berbeda ketika aku bertemu dengan Janu, dia seperti memiliki magnet akan pesona yang dimilikinya meski tidak terlalu tampan dan sesempurna tokoh fiksi yang banyak diciptakan di dalam buku romance.

Untuk kesekian kali, aku meliriknya lagi. Jujur saja, aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak melihat mata sendunya itu. Ditambah lagi, dengan tangannya yang berotot, makin terlihat seksi ketika Janu menggulung kemeja warna telor asinnya hampir ke sikut. Aku melihat pria itu sedikit mengacak rambutnya setelah menyimpan ponselnya ke saku celananya.

Dan membuatku terkejut, ketika Janu menoleh ke arahku, dia telah memergokiku sedang menatap ke arahnya.

"Sendirian aja?" Tanyanya kemudian.

"Iya, sendiri, kamu?" Aku berinisiatif untuk menanyakan balik, agar obrolan kami tidak berhenti begitu saja ketika aku sudah menjawabnya.

"Saya juga sendiri."

"Mau ke jogja?" Janu bertanya lagi.

"Ini kan kereta tujuan ke Jogja, yang pastinya saya mau ke jogja."

"Ya, bisa aja kan kamu turun di Jogja, tapi ternyata tujuannya ke malang." Janu tersenyum dan tanpa sadar aku juga ikutan tersenyum, terlihat agak aneh mungkin.

"Nggak, Saya memang mau ke Jogja."

"Ngapain? Kuliah atau kerja di sana?"

"Nggak dua-duanya," jawabku.

"Terus, ngapain dong?"

"Saya mau liburan."

"Oh, gitu."

"Kalau, statusnya? Masih sendiri juga?"

"Iya."

"Sekarang masih kuliah?"

"Sudah enggak."

"Sudah nggak? Maksudnya sudah berhenti?"

"Iya, sudah berhenti kuliah, sudah diwisuda juga, dan sekarang sudah kerja."

"Oh, berarti sudah lulus dong, kerja apa?"

"Guru, kamu sendiri, masih kuliah atau sudah kerja?"

"Saya sudah berhenti kuliah, kayak kamu, sudah diwisuda, sekarang kerja jadi dokter."

"Oh, gitu."

"By the way umur kamu berapa?"

"24."

"Kok di umur segitu masih sendiri, kenapa?"

"Nggak papa, mungkin masih nyaman sendiri, soalnya udah biasa sendiri."

"Oh, gitu. Tapi kalau ada yang melamar, mau terima?" Pertanyaan Janu yang berikutnya, membuat mataku melebar. Lama aku sempat berpikir, akhirnya "Kalau orangnya cocok sama saya, mungkin saya akan terima."

"Kalau saya yang melamar kamu, mau terima?" Pertanyaan berikutnya, yang tidak hanya membuat mataku melebar tetapi jantungku juga berdebar.

"Kamu mau melamar saya?" Tanyaku tidak percaya.

"Iya, betul." Janu tersenyum.

"Kita baru kenal tapi, kok kamu bisa langsung melamar saya?"

"Biarpun baru kenal tapi kalau sudah merasa cocok ya, kenapa tidak? Betulkan?"

"Jadi, gimana? Mau terima saya?" Janu menaikkan sebelah alis tebal hitamnya.

"Kalau saya mau kenal kamu nya dulu bagaimana?" Aku baru mengenalnya, pria asing yang tiba-tiba saja duduk di sebelahku, meskipun aku sudah menyukainya dari pandangan pertama. Tetap saja, aku tidak bisa langsung menerima lamaran Janu yang tiba-tiba itu.

"Boleh, mana nomor kamu, kita saling simpan nomor HP dulu, nanti kalau kamu siap, saya akan bawa orang tua saya ke rumah kamu."

"Buat apa?"

"Ya, buat lamar kamu secara resmi."

Dadaku semakin berdebar hebat. Untuk selanjutnya aku memberikan nomor ponselku padanya. Ya, aku mencoba untuk percaya bahwa Janu tidak sedang bermain-main dengan kata-katanya.

Pertemuanku dengan Janu berakhir di stasiun Tugu Yogyakarta. Janu menaiki kereta selanjutnya, dia tidak bilang padaku ingin pergi kemana, Janu hanya bilang padaku, bahwa dia serius dengan ucapannya saat kami di kereta sore itu.

Aku menikmati liburan impianku di Yogyakarta, mengunjungi beberapa tempat yang telah aku tulis di note kecilku, berfoto, menikmati jajanan khas kota Yogyakarta, menaiki delman, jalan-jalan di Malioboro, mencari buku buku bekas, makan sendirian di angkringan, dan berakhir di bukit Rhema Gereja Ayam. Ketika itu, aku teringat Janu, pria asing yang melamarku dengan tiba-tiba. Dia tidak menghubungiku, tidak ada kabar apapun darinya. Hingga ketakutanku muncul. Aku mengira, Janu hanya bermain-main saja dengan kata katanya. Dia tidak benar-benar serius, dan itu, membuat hatiku mendadak ngilu.

Aku menghela napas berat, tidak seharusnya aku menaruh kepercayaan yang begitu besar pada Janu, aku tidak mengenalnya sedekat itu, kami hanya kebetulan bertemu di kereta, lalu aku menyukainya dan tanpa aku duga dia melamarku kemudian dia pergi tanpa meninggalkan kabar apapun. Mungkin aku hanya terlena dengan perasaanku, perasaan yang sebelumnya tidak pernah lagi tergerak karena sudah sangat lama rasanya aku tidak memiliki hubungan dekat dengan seorang pria. Aku terlalu bodoh, untuk mempercayai Janu.

Tiga hari di Yogyakarta, dan ini adalah hari terakhirku di sini, berat rasanya, meninggalkan kota yang menyenangkan ini. Tetapi, aku memang harus kembali kepada realita. Menjalani hari-hari seperti biasanya lagi. Perjalanan kali ini, rasanya begitu singkat, rasanya baru saja memejamkan mata sebelum kereta berangkat dan ketika membuka mata lagi, kereta sudah sampai tujuan. Aku mengambil tas ransel dan juga koperku, keluar dari gerbong kereta dengan perasaan aneh.

Kisah cinta yang begitu manis antara Rangga dan Cinta di Yogyakarta, ternyata tidak terjadi padaku seperti apa yang aku harapkan. Aku malah mempercayai seorang pria asing dan membuat hatiku sedikit terluka dan perasaan aneh ini, mungkin berefek dari hal itu.

Aku berjalan gontai, membaur di tengah keramaian, lalu aku tersadar ketika seseorang memanggil namaku "Hani."

Seketika saja aku menghentikan langkahku, aku tidak menyuruh siapapun untuk menjemputku di stasiun, bahkan tidak ada yang tahu bahwa hari ini aku sudah kembali dari Jogja. "Hani." Sekali lagi, suara itu memanggil namaku. Perasaanku semakin aneh, sampai akhirnya aku membalikan tubuhku untuk melihat siapa pemilik suara itu.

"Janu?" Mataku membelalak ketika melihat wujud seorang pria yang kini tidak begitu asing lagi di mataku. Aku hampir mengira ini hanya sebuah mimpi. Dan berusaha untuk kembali terbangun. Tetapi, aku memang tidak sedang bermimpi, pria yang kini berdiri tepat di hadapanku adalah Janu, pria yang aku kira telah mempermainkanku dan membuatku kecewa. Bagaimana dia bisa berada di sini? Apakah ini cuma kebetulan? Atau Janu tahu hari ini aku akan sampai? Entahlah, saat ini, dia begitu misterius.

"Dengan adanya saya di sini, saya sudah membuktikan bahwa saya tidak bermain-main dengan ucapan saya waktu itu." Janu mendekatiku

Aku tidak bergerak sedikitpun, aku terpaku menatap mata sendunya yang begitu candu.

Sepertinya, prasangka ku salah, tidak begitu buruk mempercayainya. Aku tidak sedang terlena dengan perasaanku yang sudah lama tidak tergerak, dia memang telah menggerakan perasaanku. Sepenuhnya.

 

Komentar

Postingan Populer