Kisah Sehabis Hujan

 


Kabut tipis bersuhu dingin nyatanya masih mengumpul di udara kota Melbourne. Tepatnya di bagian Lygon Street yang dianggap dengan sebutan italia kecil. Bercak-bercak gelembung air masih menempel di dedaunan di atas pohon yang berjejer rapi di samping-samping Lygon Street.

Dasar-dasar jalanan di area Lygon Street masih terlihat adanya genangan-genangan sisa air hujan. Menuntut Lis untuk berjalan perlahan, menjaga sepatu kets nya agar tidak kotor maupun basah karena genangan air hujan tersebut.

Begitulah cuaca sore ini di Melbourne. Namun, Lis menikmatinya dengan perasaan senang karena nyatanya cuaca mendung sehabis hujan selalu menjadi favoritnya di sore hari seperti ini di Lygon Street ataupun di tempat lainnya di Melbourne.

Tadi, Lis baru saja keluar dari sebuah toko buku yang berada di tepian area Lygon Street. Lis membeli sebuah buku bersampul bata yang menjadi incarannya. Sekarang buku itu sudah berada di dalam bungkusan berwarna merah yang dia tenteng di tangan kanannya.

Rumah Lis tidak begitu jauh dari Lygon Street. Kira-kira Lis hanya membutuhkan waktu 30 menit untuk sampai di sebuah rumah bernuansa Eropa.

Ketika hendak menyebrang untuk menuju mobilnya yang terparkir di seberang sana, Lis terhentak seketika saat sebuah suara memanggilnya dari depan bangunan kafe berukuran mungil di tepian Lygon Street. Lis menoleh ke arah sumber suara. Lis langsung menyadari bahwa suara itu milik  seorang gadis yang dia kenal, Elizabeth. Sahabat Lis di Melbourne yang bekerja di sebuah kafe di Lygon Street.

Senyuman tampak merekah di bibir mungil Lis, Gadis itu membawa tubuhnya berlari menembus jalan raya untuk menuju kafe mungil di tepian Lygon Street itu.

“Lis?! Kau dari mana? Lumayan lama tak bertemu, bagaimana kabarmu?” Kemudian Elizabeth bertanya ketika Lis sudah berada di depan kafe dan berhadapan dengannya. Jika terlalu rumit menyebutkan namanya, kalian bisa menyebutnya Eliz saja.

Lis menjawab dengan senyum di bibirnya "Tadi aku pergi ke toko buku, ada sesuatu yang ingin dibeli, dan kabarku baik.”

“Oh, baiklah. Ayo masuk, aku akan membuatkanmu cappucino hangat di cuaca yang dingin seperti ini, untukmu kuberikan gratis.” Ujar Eliz penuh Sumringah. Memang, Keduanya sudah lumayan lama tidak bertemu. Ya, Semenjak Eliz sibuk bekerja.

Lis menanggapinya senang “Oh-ya? Terima kasih. Aku akan masuk.”

Lantas, keduanya masuk kedalam kafe bernuansa hangat dan beraroma macaron itu. Lis duduk di kursi dengan meja no 4, sedangkan Eliz beranjak ke dapur untuk menyiapkan cappucino hangat. Di dalam kafe tidak terlalu ramai juga tidak terlalu sepi, hanya ada empat sepasang kekasih dan seorang pria yang terlihat sedang menulis sesuatu di atas note kecilnya, pria yang mengenakan beani hat berwarna abu-abu muda itu duduk tak jauh dari Lis. Hanya tersekat satu meja saja dengan Lis.

Percaya atau tidak, saat ini kedua mata Lis tertuju pada pria itu. Wajah pria itu terlihat bernuansa Indonesia, warna kulitnya sawo matang seperti Lis. Bola matanya hitam, dan berperawakan jangkung dengan tubuh kokoh sedikit berotot

Tak diduga, detik selanjutnya pria itu mempregoki Lis sedang menatapnya, hingga tatapan mereka bertemu, mereka bertatapan beberapa detik sebelum akhirnya Lis yang mengalihkan tatapannya segera, karena gadis itu baru menyadari bahwa baru saja dia tertangkap basah oleh pria itu, karena telah menatapnya diam-diam.

Jika kalian berada di Melbourne dan duduk di sebelah Lis, kalian akan melihat rona merah yang menyemburat di kedua pipi Lis saat itu. Tangan Lis ikut-ikutan menghangat dan saat itu pula Lis menurunkan sedikit bola matanya, menatap ke bawah. Lebih tepatnya mencoba menghindar dari tatapan aneh pria itu.

Hingga, suara dering ponsel terdengar nyaring, dan tak lama berhenti kemudian digantikan oleh suara samar namun terkesan parau. Ya, suara pria itu.

“Tunggu sebentar, aku sedang berada di Lygon Street saat ini, setengah jam lagi aku akan sampai kesana.” kemudian setelah Pria itu mematikan ponselnya, dia beranjak dengan terburu-buru, semula dia membayar sesuatu di meja kasir lantas berjalan terburu-buru keluar dari kafe seraya mengenakan coat moka yang dia bawa..

Dan kalian tahu? Sampai saat ini Lis masih memperhatikan pria itu bahkan setelah pria itu menghilang di balik bangunan tinggi di Lygon Street, rasanya Lis masih dapat melihat pria itu, bahkan aroma tubuhnya masih tersisa di indera penciuman Lis.

Baiklah, Lamunan Lis akhirnya berakhir setelah Eliz duduk di hadapannya dengan dua cangkir cappucino yang sudah berada di meja itu. “Kamu sedang memperhatikan apa?” Tanya Eliz dengan kening berkerut.

“Oh, tidak. Bukan apa-apa.” Jawab Lis seraya tersenyum tipis lalu menggeser cangkirnya untuk mendekat.

Eliz mengangguk mengerti, dia tersenyum “Umm, kamu sedang melihat pria yang memakai beanie hat tadi? Dia sering kesini. Dia juga berasal dari Indonesia, seperti kamu.” Ujar Eliz, tebakannya tepat, dan membuat Lis tersenyum salah tingkah.

“Umm.. sebenarnya iya,  by the way dia juga berasal dari indonesia? Namanya siapa?”

“Iya, dia dari Indonesia seperti kamu, tapi aku tidak tahu namanya.” Eliz tersenyum menyesal di akhir kalimat.

“Oh-ya, Baiklah.”

Setelah berbincang cukup lama dengan Eliz dan langit kota Melbourne pun sudah mulai gelap, akhirnya Lis memutuskan untuk pulang.

Cuaca di luar masih terasa dingin. Untungnya, Eliz meminjamkan jaket tebal nya kepada Lis, untuk sekedar memerangi udara dingin di luar sana.

“Aku pulang, kapan-kapan aku akan kembali.” Ucap Lis, sekarang Lis dan Eliz sudah berada di luar kafe. Eliz tersenyum “Iya, aku tunggu!”

Dengan langkah perlahan menyusuri trotoar Lygon Street Lis mendekap tubuhnya longgar. Namun apa kalian tau? Pikiran Lis masih setia tertuju kepada pria asal Indonesia tadi. Dia pun tidak tau sebabnya apa.

Tapi sayang, jika kalian bertemu pria itu, mungkin akan sangat berkesan. Karena pria itu memang memancarkan pesona meskipun hanya menatap matanya saja.

Dua hari kemudian di Melbourne, cuacanya tidak terlalu buruk, tidak juga terlalu dingin. Lis Sampai di depan kafe dengan bangunan mungil. Ya, kafe yang dua hari lalu dikunjungi Lis karena Elizabeth.

Namun, hari ini Lis tidak melihat Elizabeth di dalam kafe itu, hanya ada 3 orang Whitters dan beberapa pengunjung yang sedang asyik mengobrol atau bercengkrama dengan pasangannya.

Lis diam-diam mengedarkan pandangannya, berharap dia kembali menemukan pria yang memakai beani hat itu lagi seperti tempo hari, Namun. Sampai Lis mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kafe itu. Lis tidak menemukan pria itu.

Lalu, Lis duduk di kursi dengan meja nomor 6, dia mengetuk-ngetukan jari lentiknya di dasar meja. Dan tangan kirinya menopang dagu seraya Lis menatap ke arah pintu kafe, berharap ada keajaiban dan pria itu kembali datang.

Cukup lama Lis berada di kafe itu, jarum jam pun sudah berpindah posisi, satu persatu pengunjung keluar dari kafe, langit Melbourne  sudah mulai gelap. Hingga pada akhirnya, apa yang diharapkan Lis terkabul.

Pintu kaca kafe itu terbuka, menunjukan sosok pria yang ditunggu Lis. Pria itu mengenakan kaos putih dengan balutan coat navy dan memakai celana Jins panjang yang terlihat sobek-sobek di area lutut dan warna jinsnya yang sudah terlihat memudar dan lusuh.

Pria itu lalu duduk di kursi dengan meja no 10, cukup jauh dari Lis. Namun Lis masih bisa menatap nya. Lis tersenyum tipis. Sudah sangat lama dia tidak punya teman orang Indonesia selama di Melbourne, saat ini rasanya Lis ingin berkenalan dengan pria itu tetapi tidak memiliki keberanian lebih.

Penampilannya unik, wajahnya dingin. Dan Lis begitu penasaran kepada pria itu.

Pria itu kemudian mengeluarkan note kecilnya dan pena dari dalam saku coat nya lalu tampak menulis sesuatu di sana, “Hey! Mars! Kau disini Rupanya.” suara itu tiba-tiba muncul dan mengalihkan pandangan Lis. Seorang Pria Melbourne berambut ikal, duduk di samping pria itu. Sepertinya itu teman si pria yang ditunggu Lis.

“Mars?” Gumam Lis. Barusan dia mendengar pria Melbourne memanggil pria itu dengan sebutan ‘Mars’  “Namanya Mars." Gumam lagi Lis. Dia tersenyum tipis seraya menatap pria itu yang ternyata mempunyai nama ‘Mars’

Berselang lima hari dari sore itu di kafe Lygon Street, Lis tidak pernah lagi melihat Mars datang. Lis selalu menunggunya. Namun, sepertinya pria itu tidak akan pernah datang lagi.

Mungkin, pertemuan dengan Mars hanyalah sebuah kebetulan yang biasa terjadi.

Mars adalah pria yang tidak dikenal Lis, hanya tak sengaja bertemu di kafe di Lygon Street. Mars pria asal Indonesia yang telah membuat Lis penasaran.

Sore ini di Melbourne sehabis hujan, Lis memarkirkan mobil nya di pelataran Chapel Street, sebenarnya hujan tidak sepenuhnya reda, masih tersisa gerimis ringan yang menciptakan genangan air di Chapel Street. Sejenak Lis memperhatikan gerimis yang menerpa kaca mobilnya.

Lis jadi teringat Mars, dia bertemu Mars saat sehabis hujan di kafe di Lygon Street. Mungkin hal itu tidak akan terulang lagi.

Lis menyudahi lamunannya dan keluar dari mobil untuk pergi ke sebuah toko buku yang berada tak jauh dari tempatnya memarkirkan mobil.

Setelah posisinya sudah berada di dalam, Lis menghampiri rak buku, di sana tersimpan buku-buku fiksi, lalu dia mengambil dua buku fiksi dan segera membayarnya ke kasir.

Setelah itu, Lis beranjak keluar dan tak sengaja Lis menjatuhkan gelangnya ketika mengambil kunci mobil dari dalam saku coatnya, ketika Lis hendak mengambil gelang itu, seorang pria tiba-tiba saja  mendahului nya “Ini gelangnya.” Lis Menegakan tubuhnya kembali dan mendongak, bermaksud untuk melihat siapa pria itu.

Pria itu tersenyum kepada Lis, Dan Lis tau siapa pria itu, Itu Mars. “Kenapa tidak ambil gelangnya dari tanganku?” Pertanyaan Mars membuyarkan lamunan Lis, gadis itu sangat gugup dan sedikit tak percaya bahwa pria di hadapannya itu benar-benar Mars “Oh-ya, baiklah” Lis mengambil gelangnya dari tangan Mars dengan suara gugup.

Kini Lis dan Mars berdiri berhadapan di pelataran Chapel Street di Melbourne.

“Mars.” Ucap Mars seraya tersenyum, Lis mengikutinya tersenyum “Lis."

Setelahnya, Lis diam. Gadis itu semakin gugup ketika mendapati Mars menatap matanya. Ada perasaan senang yang meletup-letup di dada Lis. Tak menyangka Tuhan akan mengabulkan harapannya untuk bertemu lagi dengan Mars.

“Kau berasal dari Indonesia juga?” Tanya Mars kemudian memecah keheningan, Lis Mengangguk sebagai jawabannya.

“Aku mahasiswa di University Melbourne.” Ucap Lagi Mars “Oh ya? Aku sudah lama tinggal disini dan bersekolah disini, tahun ini aku masuk Universitas,”  ujar Lis.

“Wah, lain kali boleh ajak aku jalan-jalan untuk lebih mengetahui kota ini.” Mars tersenyum hangat. Lis berpikir sejenak dan dia mengangguk “Ya, Boleh.”

Kemudian, Mars mengajak Lis untuk mampir sejenak di kedai kopi, mereka berjalan berdampingan menyusuri pelataran Chapel Street sehabis hujan.

“Aku jadi teringat, saat di Lygon Street, cuacanya seperti ini. Kota Melbourne sehabis hujan dan bertemu dengan kamu,” ujar Mars kemudian. Lis serentak menoleh “Kau mengingat aku?”

Mars tersenyum lebar, hampir menahan tawa “Ya, tanpa kamu tahu aku juga memperhatikanmu saat itu, kamu lucu, pipimu merona saat itu.”

Lis tersenyum malu, dia tak menyangka ternyata Mars mengingatnya dan malunya, Mars melihat pipi Lis merona saat itu. Ya, saat mereka bertatapan di pertemuan pertama di kafe.

Setelah berjalan 10 menit, mereka sampai di kedai kopi, setelah selesai memilih tempat duduk yang strategis, Mars memesan dua cangkir latte panas dan pesanan datang 5 menit kemudian. “Cuaca dingin seperti ini, memang paling enak minum latte panas.”

Lis mengangguk "Ya, benar." Lalu tersenyum tipis melihat Mars mulai menyeruput kopinya. Dalam hati Lis, dia merasa masih tak menyangka akan bertemu kembali dengan Mars, Lis kira Mars hanya sebuah kebetulan tetapi sekarang Lis kira Mars bukanlah sebuah kebetulan tapi Mars adalah takdir. Ya, dari awal, pertemuan ini memang sudah ditakdirkan dan Lis percaya itu.

"Jadi, kapan kamu punya waktu untuk menemaniku menyusuri kota ini, Lis?"

"Kapanpun."

"Baiklah," Mars tersenyum, lalu menatap kedua mata Lis hangat.

 

 

Komentar

Postingan Populer