Sweet Pea


Kalian pasti pernah bertemu dengan seseorang yang perlahan-lahan menggerakan hati kalian, tanpa sadar membuat perasaan kalian hangat dan nyaman. Sampai pada akhirnya kalian menyadari bahwa perasaan itu bukan hanya sekedar nyaman, tetapi lebih dari itu. Ya, perasaan yang disebut dengan cinta, lebih tepatnya itu. Tetapi, setelah menyadari bahwa kalian jatuh cinta dengan seseorang itu, kalian mengetahui bahwa selamanya, seseorang yang dimaksud itu tidak akan pernah menjadi milik kalian.

Aku bertemu dengannya, pria misterius yang menyenangkan. Dia tidak banyak bicara, jarang sekali aku melihatnya tersenyum. Wajahnya dingin, matanya berwarna biru yang begitu indah, kulitnya seputih salju. Pria itu menghampiriku ketika aku sedang menangis di pinggiran danau, pria itu menepuk-nepuk punggungku lembut, meski tidak berbicara, tetapi dia mampu menenangkanku. Suatu ketika, aku kembali ke danau itu, dengan perasaan baru. Kedua sudut bibirku tertarik, aku duduk di kursi besi yang hampir berkarat, diam-diam menunggu pria misterius itu datang. 

Cuaca begitu dingin, bibirku bawahku bergetar pelan, aku mendekap tubuhku sendiri dengan erat, suasana yang semakin dingin dan sendu ini membuatku ingin pulang tetapi enggan melewatkan pertemuan dengan pria misterius itu. Sampai akhirnya, ketika aku mendongak, aku melihat pria misterius itu sedang berjalan ke arahku, masih sama, wajahnya dingin, mata birunya yang membekukan dan tidak ada senyuman di sana. Tetapi ketika melihatnya, aku begitu senang, hatiku mendadak hangat.

Aku tersenyum menatapnya, perlahan-lahan aku melepaskan dekapan tanganku lalu pria itu duduk di sampingku, tubuhnya dibalut jaket berbulu tebal berwarna broken white. 

"Bagaimana perasaanmu?" Tanyanya dengan nada dingin yang agak kaku. Aku menoleh ke arahnya, menatap wajah tampannya dari samping.

"Perasaanku sudah sangat baik, terima kasih." Aku masih menatapnya. Lalu, berselang beberapa detik pria misterius itu menengadahkan kepalanya lantas menoleh ke arahku "Sudah lama di sini?" Tanyanya lagi. Sebagai jawabannya aku mengangguk.

Dia terdiam, begitupun denganku. Aku tidak memiliki keberanian untuk memulai obrolan, dia sudah duduk di sampingku seperti ini saja aku sudah sangat senang. Dia membuatku nyaman, berada disisinya aku merasa begitu hangat dan damai. Dia seperti bukan seorang manusia, karena pria itu terlalu sempurna untuk disebut manusia. 

Setelah sekian lama saling diam, dia menoleh lagi ke arahku, kali ini dia menatapku agak lama, membuatku gugup dan tidak berani menatapnya balik, "Ivander," ucapnya pelan. Aku menoleh ke arahnya ketika mendengar suaranya yang lembut. "Namaku Ivander, waktu itu kita belum berkenalan," sambungnya kemudian. Aku mengerti sekarang, pria itu sedang memberitahukan ku namanya, Ivander. 

Aku tersenyum "Bella," ucapku. 

"Bella?" Dia bertanya. Lantas, aku menganggukan kepala. Ivander lalu mengalihkan tatapannya lagi ke depan dan dia bergumam "Nama yang bagus."

Meskipun sangat pelan, aku masih bisa mendengarnya karena jarak kita sangat dekat. Ada kebahagian yang meletup-letup di dadaku ketika Ivander bergumam seperti itu. Katanya, namaku bagus. Sebenarnya, sama seperti namanya, Ivander. Yang memiliki arti pria terbaik.

"Nama kamu juga sama bagusnya, Ivander." Aku tersenyum menatapnya dengar mata yang berbinar, sungguh, ketika aku menatap matanya cukup lama, aku makin tidak yakin bahwa perasaanku padanya hanya sekedar nyaman. Aku tidak pernah merasakan perasaan ini sebelumnya, begitu menyenangkan dan mendebarkan. Ivander adalah pria dengan perlakukan paling lembut, seperti tidak ada celah buruk sama sekali. 

Aku tidak tahu dia berasal dari mana, mungkin berasal dari dunia lain yang tidak aku ketahui, Ivander begitu misterius. Rasanya, dia tidak pernah memberikanku ruang untuk mengetahui tentangnya lebih dalam. Ivander seolah menahanku di pintu masuk kehidupannya, dan di sana dia hanya menunjukkan sisi lain yang bagiku begitu lembut dan hangat dan seolah, Ivander menyuruhku untuk tidak tahu kehidupan dia yang sebenarnya.

"Aku boleh tanya sesuatu?" 

Ivander menganggukan kepalanya, tanpa menoleh ke arahku. Aku menelan salivaku sebelum akhirnya bicara "Kenapa waktu itu kamu menghampiriku?" Tanyaku. Ivander diam sejenak, matanya membeku seketika itu. Dan tiba-tiba saja kedua sudut bibirnya tertarik, membentuk lengkungan tipis yang biasa disebut dengan senyuman. Ini adalah pertama kalinya aku melihat Ivander tersenyum.

"Kamu adalah gadis paling menyedihkan yang pernah aku temui." Ivander menoleh ke arahku, pada akhirnya kami saling bertukar pandang, mata birunya yang beku bertemu dengan mataku. Aku seperti baru saja terhipnotis oleh tatapan dinginnya. "Terima kasih," ucapku.

"Untuk apa?" Ivander menaikkan sebelah alisnya, aku tersenyum ke arahnya "Terima kasih sudah menenangkanku waktu itu," jawabku cepat. Ivander tidak menanggapi ucapanku, dia cuma terdiam dengan kedua mata yang masih menatapku. "Kamu memang misterius ya," gumamku, lalu aku mengalihkan tatapanku ke depan, aku tidak bisa terus menatapnya, karena aku akan semakin gugup. 

Ivander tidak menanggapinya lagi, lantas dia beranjak dari duduknya, memasukkan tangannya ke dalam saku jaket tebalnya. Kemudian Ivander menoleh lagi ke arahku "Mau jalan-jalan?" Aku mendongak, diam sebentar sebelum akhirnya mengangguk pelan. 

Ivander berjalan mendahuluiku, dan aku mengekor di belakangnya, tidak banyak objek yang aku lihat, karena beberapa kali mataku terus memandangi bahu Ivander yang tampak kekar dan lebar. Rambut coklat nya perlahan-lahan bergoyang karena hembusan angin. 

Sampai akhirnya, aku mendadak menghentikan langkahku ketika Ivander juga mendadak menghentikan langkahnya. Aku mendongak dan dia sudah menoleh ke arahku. Ivander meraih pergelangan tanganku lalu menarikku untuk berjalan berdampingan dengannya. Ini kali pertamaku merasakan hal ini. Aku semakin gugup tidak karuan, jantungku pun berdebar hebat. Perasaan ini bukan perasaan biasa, aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya.

Aku yakin, ini bukan sekedar nyaman. Untuk mengakuinya, aku menatap mata biru Ivander sekali lagi dan aku akan bilang bahwa aku telah merasakan perasaan yang lebih dari sekedar nyaman. 

Untuk kedua kalinya aku melihat Ivander tersenyum, kali ini senyumannya tampak lebih lebar "Kamu harus berjalan di sampingku," ucapnya lembut. Dia masih menggenggam pergelanagan tangannku "Kita mau kemana?" Tanyaku kemudian dengan nada gugup.

"Jalan-jalan sebentar," jawab Ivander.

"Bel, kamu pernah bertanya-tanya bagaimana kesempurnaan hidup yang sesungguhnya?" 

Aku terdiam sejenak, bagiku, pertanyaan itu sudah sangat sering aku tanyakan pada diriku sendiri, pertanyaan yang sampai saat ini belum ku temui jawabannya. Aku menggeleng.

"Kesempurnaan hidup yang sesungguhnya itu sangat sederhana, tapi mampu membuatmu senang sepanjang hari." Ivander menatap lurus ke depan, tanganya yang seputih salju berubah sedikit memerah karena cuaca yang semakin dingin. Lalu aku menatapnya "Apa itu?" Tanyaku.

"Hidup dengan orang yang kamu cintai, bekerja sewajarnya, dan tidak memperdulikan persepsi orang lain tentangmu." Ivander menoleh ke arahku, napas nya berkabut ketika pria itu berbicara. Aku tersenyum menatapnya sekaligus mendengar ucapannya.

"Aku tidak punya seseorang yang aku cintai, aku tidak bekerja dan setiap hari, aku selalu khawatir tentang diriku sendiri, hidupku tidak sempurna?" 

Ivander menjulurkan tangannya ke depan, merasakan dinginnya salju yang perlahan-lahan mulai turun "Hidupmu akan sempurna jika kamu mau merubahnya," gumam Ivander lalu dia menatap ke arahku "Kamu bisa mencari seseorang yang kamu cintai, Bel. Yang bisa membuatmu menjalani hari-hari yang menyenangkan," ucap Ivander. 

"Jangan menahannya sendirian, kamu butuh seseorang untuk berbagi cerita, bukan?" Aku mengangguk. Selama ini, aku memang hanya menahannya sendiri, tidak ada seseorang yang aku percayai di dunia ini. Tidak ada yang mampu membuatku melepaskan beban ini, entah aku terlalu menutup diri atau memang tidak ada manusia yang baik di dunia ini. Dan ketika aku bertemu dengan Ivander, aku mulai percaya, bahwa tidak semua manusia di dunia ini jahat. Meski aku sendiri masih tidak yakin bahwa Ivander adalah manusia, karena dia begitu sempurna, lembut, dan begitu tulus.

"Salju sudah turun, Bel. Ada baiknya jika kita pulang sekarang. Kalau tidak, mungkin kita bisa saja membeku disini," ucap Ivander kemudian. Saat pria itu hendak melangkah, aku menahan tangannya secara spontan, membuat pria itu menoleh dengan cepat ke arahku "Bagaimana bisa kita tahu bahwa kita telah mencintai seseorang?" Tanyaku. 

Ivander tidak langsung menjawabnya, seperti biasa, dia akan diam dan menatap mataku terlebih dahulu lalu akhirnya berbicara "Ketika kamu merasakan kehangatan ketika bersamanya, ketika kamu terus memikirkannya ketika hendak tertidur." 

Aku menelan saliva ku susah payah, tubuhku seperti mendadak membeku, rupanya aku sudah bisa menyimpulkan bahwa perasaan yang aku rasakan ketika bersama dengan Ivander adalah cinta. Dan dia adalah satu-satunya pria yang menguasai kepalaku ketika aku hendak tertidur.

"Bel, kalau kamu butuh teman untuk berbagi, aku akan selalu bersedia," ucap Ivander kemudian. Pria itu berbicara tanpa tersenyum, dan mata birunya yang membekukan. Aku tersenyum ke arah pria itu, lantas mengangguk, jauh di dalam lubuk hatiku, aku tidak ingin hubungan kami hanya sebatas teman, kau tahu? Aku telah jatuh cinta padanya dan hubungan sebagai teman biasa tidak lagi menarik bagiku, aku ingin lebih dari itu. 

Di detik berikutnya, Ivander tiba-tiba saja meraih tanganku, dan ketika kulit kami bersentuhan, ada debaran yang aku rasakan, juga hawa dingin yang berganti hangat "Bel, aku mau ajak kamu ke suatu tempat." Ivander menarik tanganku, membawaku ikut berjalan dengannya. Aku tidak bertanya apapun padanya, aku hanya mengikutinya saja. 

Aku tidak ingin hari ini cepat berlalu, karena bersama Ivander, hatiku merasa begitu senang.

Hingga akhirnya, kami sampai di sebuah rumah pohon bercat abu-abu. Ivander menengadah ke atas, tangannya masih menggenggam tanganku "Kita ke atas," ucapnya. Ivander lalu menaiki tangga terlebih dahulu untuk masuk ke dalam rumah pohon itu, dan selanjutnya aku mengikutinya "Ini tempat apa? Rumah pohon pribadi kamu?" Tanyaku setelah sampai di atas rumah pohon.

Ivander terduduk lalu menepuk-nepuk lantai rumah pohon yang terbuat dari papan itu, dia menoleh ke arahku "Duduk," suruhnya lembut. Aku mengangguk dan duduk tepat di sampingnya, tatapan kami berdua tertuju ke arah perbukitan yang hampir tertutupi salju. 

"Aku menemukan rumah pohon ini seminggu yang lalu, tidak tahu pemiliknya siapa, tapi sepertinya memang sudah lama tidak dihuni," Ivander memulai. Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum hangat, entah kenapa aku begitu terpesona, semakin terpesona menatap wajahnya. 

Semakin sore, cuaca semakin dingin pula, bahkan, rasanya jaket tebal yang kini aku pakai sudah tidak bisa lagi menahan hawa dinginnya, tubuhku menggigil dan napasku mulai berkabut. Ivander menoleh ke arahku di detik selanjutnya "Kamu kedinginan ya?" Sebagai jawabannya aku mengangguk. Lantas, tanpa aku duga sebelumnya, Ivander meraih kedua tanganku, dia mengubah posisi duduk nya jadi bersila, menghadap ke arahku. Dan aku mulai mengikutinya, alhasil, kini, kami duduk bersila saling berhadapan, Ivander menggenggam tanganku dan mata kami bertemu cukup dekat.

Hal yang membuatku terkejut lagi, ketika Ivander tiba-tiba meniup kedua telapak tanganku, lalu menempelkannya di kedua pipiku dengan kondisi tangannya yang juga ikutan menempel di kedua pipiku, membuat jantungku yang tadinya sudah berdebar kini makin berdebar "Sudah hangat?" Tanyanya sejurus kemudian dengan suara yang lembut. Mataku membelalak menatapnya, perlakuannya kali ini begitu manis padaku, rasanya seperti dibawa terbang ke angkasa.

Aku mengangguk.


***

Dua hari setelah itu, aku kembali ke rumah pohon, dengan luka memar yang bertambah dua di lengan kiriku, tetapi dengan perasaan senang. Seperti sebelumnya, aku menyembunyikan rasa sakitku terlebih dahulu. Selama aku bersama dengan Ivander, semua kesialan kesialan yang ada di hidupku akan menguap entah kemana, meskipun setelah itu akan kembali ketika malam menyapaku di kamar dengan lampu yang temaram.

Aku menaiki tangga rumah pohon, terduduk di sana seraya mengayunkan kedua kakiku pelan, menunggu kehadiran Ivander. Tetapi, rasanya begitu lama aku menunggunya, bahkan lebih lama dari dua hari yang lalu. Ivander tidak kunjung datang, membuatku jadi gelisah. Aku memejamkan mataku beberapa kali, menghela napas berat beberapa kali, lalu yang terakhir memanggil nama Ivander tiga kali. Tetapi, tetap saja pria itu tidak datang dan hanya menyisakan udara dinginnya di sini.

Ketika melihat sesuatu yang terselip di antara celah dinding papan rumah pohon, aku beranjak dari dudukku dan mengambil sesuatu itu, yang ternyata adalah sebuah kertas yang dilipat sangat rapi, ketika aku mulai membukanya, terselip bunga Sweet Pea di antara lipatan kertas itu. Jari-jari ku bergerak lambat mengambil bungan sweet Pea yang sudah mengering, kemudian mulai membaca beberapa kalimat yang tertulis di kertas itu.

Hai, Bella. Ini aku, Ivander.

Kamu adalah gadis pertama yang aku temui

Gadis pertama yang membuatku tertarik

Aku tahu kamu sedang terluka ketika aku mulai melihatmu dari kejauhan.

Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk menghampirimu

Bel, sudah lama rasanya aku tidak merasakan kenyaman saat bersama dengan seseorang.

Aku adalah orang yang tidak banyak bicara

Sebenarnya, aku tidak tahu, mengapa aku berada di sana waktu itu dan bertemu denganmu.

Aku mencintaimu, tapi saat aku menyadari itu aku juga menyadari bahwa selamanya, kita tidak akan pernah bisa bersama. 

Bel, aku menulis surat ini ketika aku sedang menunggumu, jika ketika kamu membaca surat ini dan aku tak juga datang. 

Itu artinya, waktunya sudah datang. Ya, perpisahan kita, aku tidak tahu kemana aku pergi. Jadi, jangan pernah mencariku ya.

Aku senang mengenalmu, semoga kamu juga begitu.


Ivander.

Air mataku berhasil lolos setelah merampungkan surat itu, aku mulai terisak, menangis kencang, menggenggam erat-erat surat itu di tanganku. Mataku mulai terpejam. Ketika aku merasakan udara hangat yang menerpa tubuhku, aku mulai membuka mataku lagi. Tetapi, bukan di rumah pohon, melainkan di atas tempat tidur yang gelap dan sunyi. Baru setelah aku menyadari surat itu masih ku genggam, aku menyadari bahwa Ivander sudah benar-benar pergi. Entahlah, apakah dia hanya sekedar mimpi yang menyenangkan bagiku atau dia adalah malaikat yang sengaja dikirim tuhan untuk membuatku senang. 

Untuk kedua kalinya, aku kembali menangis, Ivander terlalu berkesan untuk dilupakan, tetapi perpisahan itu begitu menyakitkan. 


Note: Cerpen ini sudah diterbitkan, dan ini adalah versi sebelum dieditnya, ya! Jika ingin membaca versi terbitnya kalia bisa baca cerpen ini di buku kumpulan cerpen "Renjana dalam Aksara" Kimbab Publisher.


Komentar

Postingan Populer