One Day, I Want to See You Again


"Satu es krim stroberi ya, Kak." Pelayan wanita bercelemek pororo itu mengangguk setelah seorang wanita bergelung agak acak-acakkan mengutarakan permintaannya. Namanya, Vanila. Ya, jika dilihat dari es krim yang ia pesan sangat tidak cocok dengan namanya. Bukannya ia seharusnya memesan es krim vanila? Bukan malah stroberi? Tidak. Gadis itu menyukai stroberi, tidak ada kaitannya dengan namanya. Lagi pula, dia tidak suka dengan namanya. Mengapa orang tuanya harus memberikan nama Vanila? Bukan Berry? (Karena ia penyuka stroberi). Ah, sudahlah, sudah ku bilang tidak ada kaitannya dengan es krim yang ia pesan dan namanya. 

Beralih ke gadis itu, kini ia duduk di salah satu kursi bercat pink, di sisinya ada meja bundar yang ukurannya hanya cukup untuk meletakan segelas kopi dan laptop berukuran 14 inch. Gadis yang dimaksud adalah Vanila, gadis penyuka es krim stroberi. 


Tidak ada yang menarik di toko es krim yang ukurannya tidak terlalu besar ini bagi Vanila, sebelum pada akhirnya ia melihat pintu kaca dibuka oleh seorang anak kecil berambut merah menyala. Oh, tuhan! Ibunya pasti mewarnai rambut anak itu, lucu sekali! Vanila tersenyum lebar, matanya berbinar, ia memang menyukai anak kecil. 

Baru saja ia akan melambaikan tangan untuk menyapa anak kecil tadi, Ibunya datang lebih dulu dan menggendongnya, mereka memesan es krim vanila. Ya, Vanila mendengarnya, bahkan sangat jelas. Anak kecil itu adalah seorang perempuan, memiliki mata bulat dan lesung pipit yang muncul di pipinya ketika ia tersenyum. Rasanya, Vanila ingin menggendongnya dan memberikan senyuman memesonanya. 

Namun, ia sadar bukan siapa-siapa, akan dibilang sok kenal jika ia melakukan hal itu.


"Kak Vanila!" Vanila tersentak seketika, ia langsung cepat-cepat berdiri dan mengambil es krim stroberi miliknya sekaligus membayar, "Terima kasih." Setelah selesai Vanila berbalik dan menemukan anak kecil itu berdiri di belakangnya, Vanila tersenyum, ia berjongkok untuk menyamaratakan tingginya dengan anak lucu itu. "Hai," Vanila menyapa dengan senyuman hangatnya, tetapi anak kecil itu sama sekali tidak tersenyum, dia hanya diam sampai suatu hal terjadi dan membuat Vanila terkejut, anak kecil itu mengambil tumpukan es krim stroberi di atas cone milik Vanila dengan tangan mungilnya, dalam hitungan detik es krim itu raib dan meleleh ke lantai juga lengan mugil anak itu, "Ow!" Vanila sedikit menjauh untuk menghindari lelehan es krim itu.


"Ya, ampun! Anak ini nakal sekali," Ibunya dengan cepat menggendong anak kecil berambut merah menyala itu, lalu menoleh ke arah Vanila yang saat itu sedang meratapi es krim-nya yang hanya tinggal cone-nya saja. "Maaf, biar saya ganti yang baru ya," wanita yang kini sedang menggendong anak kecil itu menatap Vanila iba. Vanila sontak saja mendongak, lalu gadis itu berdiri dan tersenyum tipis "Tidak apa-apa, tidak usah diganti kok, Mbak." Vanila menyadari bahwa banyak sepasang mata yang kini sedang menatap ke arahnya juga wanita yang sedang menggendong anak kecil itu. Sampai kemudian muncul seorang pelayan wanita dengan sebuah alat pembersih lantai di tangannya. 


"Mohon maaf, biar saya bersihkan dulu," ucapnya sopan sambil tersenyum lumayan ramah. Vanila dan wanita itu sedikit menyingkir, lalu "Mohon maaf ya, kamu beneran nggak mau diganti? Nggak papa kok." Ucap wanita itu lagi. Vanila tersenyum "Tidak apa-apa, namanya juga anak kecil, Mbak. Lagipula, saya sedang buru-buru, jika menunggu satu es krim lagi sepertinya tidak akan keburu," jelas Vanila dengan sedikit kebohongan dalam ucapannya itu. 


Wanita itu tersenyum ramah lalu mengangguk "Umm, saya pergi dulu ya, Mbak." Vanila lalu berpamitan pergi, saat gadis itu mulai berjalan, ia tiba-tiba saja menangkap sepasang mata seorang pria sedang menatapnya, pria itu tinggi, berambut agak acak-acakan, tetapi masih cukup tampan. Pria itu berdiri di samping pintu kaca, sepertinya baru saja masuk sejak beberapa menit yang lalu. Pria itu langsung mengalihkan tatapannya ketika Vanila menemukan sepasang matanya, ia lalu melewati Vanila. 


Vanila tidak mengenal pria itu, tetapi melihatnya menatapnya seperti itu membuat Vanila ingin melihat pria itu sekali lagi, tetapi ia tak berani dan kemudian memutuskan untuk keluar dari toko es krim tanpa membawa es krim stroberi seperti rencana awalnya. Vanila menghela napas berat, ia kemudian membuang sisa cone es krimnya ke tong sampah lalu berjalan gontai menyusuri trotoar dan memutuskan untuk duduk ketika menemukan tempat teduh dan kursi panjang yang terbuat dari besi.


Vanila mengetuk-ngetukan kakinya yang dibungkus sepatu kets putih ke tanah, lalu melihat kendaraan yang berlalu lalang di jalanan. Beberapa menit kemudian, ia melihat pria itu lagi. Ya, pria yang menatapnya di toko es krim tadi. Pria itu membawa es krim stroberi di tangannya, tanpa Vanila duga sebelumnya, pria itu ternyata menghampirinya "Boleh duduk di sini?" Tanya pria itu sejurus kemudian. Vanila mendongak, ia diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. 


Pria itu duduk setelah Vanila mengizinkannya, kemudian menyodorkan es krim stroberi yang tadi dibawanya "Ingin mengganti yang tadi," ucapnya. Vanila menoleh ke arah pria itu, matanya membelalak "Kamu ayah anak kecil itu?" Tanyanya polos. Pria itu tersenyum, lalu menggeleng "Bukan."


"Lalu, kenapa berinisiatif mengganti?" Tanya Vanila penasaran. "Hanya ingin, tidak boleh? Oh, ya aku tidak kenal anak kecil itu," ucap pria itu. Vanila mengambil es krim stroberi di tangan pria itu "Terima kasih," ucapnya. 

"Ya, sama-sama." 

"By the way, kita belum berkenalan, " ucap pria itu lagi. 

"Vanila," ucapnya. "Kamu?" Vanila melanjutkan.

"Kai," ucap pria itu, namanya Kai. 

Vanila mengangguk-anggukan kepalanya, ia lalu mulai melumat es krim stroberinya, asam bercampur manis, rasa yang sangat Vanila sukai, sangat sempurna.


"Umm, by the way, dari mana kamu tahu aku memesan es krim stroberi?" Vanila menoleh ke arah Kai yang kini sedang memperhatikannya, "Bertanya," jawab Kai singkat. Vanila terpaku, lalu Kai akhirnya berinisiatif menjelaskan "Aku bertanya ke pelayan, aku bilang ingin memesan es krim yang sama dengan gadis yang es krimnya dihancurkan oleh seorang anak kecil berambut merah menyala." Vanila tertawa, Kai juga tertawa, dan Vanila menyadari bahwa Kai memiliki tawa yang lucu. Mendadak Vanila gugup, pipinya juga mendadak menghangat, tawanya pudar seketika itu juga. Menyadari hal itu, Kai juga berhenti tertawa. Suasana jadi hening seketika, sebelum akhirnya Kai kembali memulai perbincangan "Kenapa suka es krim stroberi? Nama kamu kan.." belum Kai rampungkan kata-katanya, Vanila sudah menimpalinya dengan percaya diri "Vanila? Seharusnya aku menyukai es krim vanila, bukan stroberi, kan?" Gadis itu menebak dengan sangat percaya diri.


Kai mau tak mau mengangguk, Vanila memang benar. Ia lalu tersenyum "Ya, kamu sudah bisa menebak maksudku," Kai menghela napas pasrah. Vanila melumat es krimnya sekali lagi "Aku tidak suka vanila, rasanya terlalu manis," Vanila berpendapat.

Kai mengangguk "Sependapat."

"Kamu tidak suka rasa vanila?" Tanya Vanila.


"Tidak juga, aku sempat mencobanya beberapa kali, entah itu di es krim atau minuman, tapi aku memang tidak terlalu suka manis," jelas Kai. Pria itu menoleh ke arah Vanila yang kini menatapnya "Oh, ya."


"Biasanya, orang yang suka es krim rasa stroberi itu adalah sosok yang manis, polos, tertutup, tetapi pemikir dan juga setia," ucap Kai. Vanila tersenyum "Kamu filosofis juga ya." Kai mengedikkan bahunya "Lumayan," ia tertawa ringan. "Tetapi betul, kan?" Kai menebak, Vanila mengangguk pelan "Sebagian." 


"Bagian mana yang tidak sesuai?" Tanya Kai.

"Aku tidak manis," jawab Vanila.

"Kamu cukup manis," Kai membantah. "Tidak."

"Ya, Vanila."

Kai tersenyum menatap gadis itu melumat sisa es krim stroberinya, lalu menggigit cone nya setengah. "Jangan menatapku terus, Kai. Kita baru mengenal dan aku bisa saja mengira kamu penculik yang sedang membujukku dengan es krim," ungkap Vanila.


Kai tertawa, seperti biasa, cara tertawanya sangat lucu. Dan Vanila menyadari itu. "Tidak, pikiranmu terlalu jauh, jika aku memang penculik mungkin aku sudah membawamu sebelum es krim nya habis."


"Tidak, kamu akan gagal membawaku, Kai." Vanila melahap setengah cone terakhir nya. "Why?"

"Karena aku bisa saja berteriak, Kai. Aku tidak sebodoh itu," Vanila tertawa.

"Ya...ya, aku akan gagal menculikmu," Kai juga tertawa.

Tidak terasa, langit yang tadinya terang kini mulai gelap, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Kai menengadahkan kepalanya "Sepertinya kita harus pergi dari sini," Kai berinisiatif. 


Vanila menoleh "Benar saja, kamu akan menculikku," kali ini tebakan Vanila agak konyol, membuat Kai membelalak tak percaya "Astaga, aku hanya ingin menyelamatkanmu dari air hujan, kamu tidak menyadari bahwa langit sudah mulai abu-abu?" 

Vanila mendongak, ternyata memang benar, konyol sekali. 

"Baiklah, kita pergi." Vanila beranjak begitupun dengan Kai. 


Keduanya berjalan bersisian menyusuri trotoar menuju tempat yang Kai rekomendasikan, katanya tempat itu adalah tempat andalannya untuk minum kopi dan menghindar dari teman-temannya yang agak toxic


"Kamu punya teman-teman yang toxic?" Tanya Vanila di tengah-tengah langkah keduanya. "Mungkin," jawab Kai singkat.

"Mungkin?"

"Ya, mereka cukup toxic, tetapi aku juga berpikir bahwa mungkin saja aku menjadi salah satu orang yang toxic itu, hanya saja aku tidak menyadarinya. Makannya, aku selalu  butuh ruang untuk berpikir," Kai menjelaskan.

Vanila menyimak ucapan Kai. Benar, manusia tidak ada yang sempurna, kita mungkin saja pernah merasa bahwa orang-orang di sekeliling kita sangat toxic, padahal kita bisa saja menjadi salah satu orang yang toxic itu, hanya saja kita tidak menyadarinya. 


"Kamu, aku, ataupun mereka adalah tokoh utama dalam kehidupannya, kita punya pandangan masing-masing dalam hidup ini," jelas Kai. "Benar," Vanila menanggapi.


Tempat yang direkomendasikan Kai kini sudah ada dihadapan keduanya, kedai kopi bercat coklat, memiliki kaca besar dan kanopi hitam putih, cozy dan sepertinya tempat yang cukup hangat di cuaca yang mulai sendu ini. "Kopi?" Vanila menoleh ke arah Kai. 


"Kamu tidak suka kopi?" 

"Um, hanya capucino, kurasa." Vanila menjawab agak ragu, kopi bukan opsi yang selalu ia pilih, Vanila tidak terlalu menyukai kopi tetapi sesekali ia pernah mencicipi kopi dan itu hanya capucino.

"Sudah bisa ditebak," ucap Kai.


"Kamu? Suka capucino juga?"

"Tidak terlalu, aku lebih suka espresso." 

"Espresso?" Kai mengangguk. "Jadi masuk?" Vanila dengan cepat mengangguk, keduanya masuk ke dalam kedai kopi itu dan Kai rupanya sudah akrab dengan salah satu barista yang ada di sana.


"Hai, Kai, titip absen lagi pagi ini?" Tanya seorang barista berambut blonde yang cukup tampan, Kai lalu mengangguk "Ini yang terakhir," ucap Kai. Kai dan Vanila duduk berhadapan di sana "Temanmu?" Tanya barista itu lagi, kali ini sambil menatap Vanila. Kai mengangguk "Yap, kita baru kenal hari ini." 

"Halo, Vanila" Vanila menyapa kemudian, si barista berambut blonde itu tersenyum ramah ke arah Vanila "Halo, Canis." 


"Waktunya mencatat pesanan, espresso dan.."

"Cappucino," Kai melanjutkan. Canis mengangguk mantap lalu berlalu pergi. 

Setelah Canis pergi, Vanila menatap Kai "Dia sahabatmu?" Tanyanya. Kai mengangguk "Sahabat SMA lebih tepatnya," jawab Kai. 


Beberapa menit kemudian, pesanan espresso dan cappucino milik Kai dan Vanila datang, Canis yang mengantarkannya ke meja "Kali ini lumayan cepat, kau datang di jam luang, Kai." Ucap Canis sambil meletakkan segelas kecil espresso dan secangkir cappucino. "Syukurlah," Kai menimpali.


"Selamat menikmati, panggil saja bila butuh sesuatu," Canis menoleh ke arah Vanila, gadis itu lalu mengangguk sebelum akhirnya Canis kembali berlalu. 


"Kai," Vanila membuyarkan lamunan Kai "Yap?"

"Kau tahu filosofis dari kedua jenis kopi ini?"

Kai tersenyum, ia mengaduk espressonya pelan "Espresso itu lebih pekat, aroma kopinya juga sangat kuat, dan pastinya kopi ini juga pahit. Seseorang yang menyukai espresso adalah sosok yang menyukai tantangan dan juga kreatif," Kai menjelaskan. Di saat Kai menjelaskan, sepasang mata Vanila tidak bisa berhenti menatapnya. 


"Cappucino?" Vanila bertanya lagi.

"Cappucino adalah perpaduan espresso dan susu, lebih lembut, rasanya manis, dan memiliki aroma yang sedap. Seseorang yang menyukai cappucino adalah sosok yang santai," jelas Kai. Kai mendongak "Kenapa kopinya belum diminum?"


Lamunan Vanila buyar, gadis itu menelan salivanya susah payah, sepertinya ia sedang gugup, pipinya sedikit merona. "Ah, ya.." Kai tersenyum, gadis yang kini duduk di hadapannya cukup manis, pria itu tersenyum tipis, menatap Vanila yang mulai menyeruput kopi cappucino-nya. 


"Terima kasih untuk es krim dan kopinya," ucap Vanila kemudian. Vanila tidak mengenal Kai sebelumnya, ia tidak menyangka akan bertemu dengan pria seperti Kai hari ini, sangat menyenangkan, manis, dan memesona. Meskipun baru mengenalnya beberapa jam yang lalu, rasanya Vanila sudah seperti mengenalnya lama. 


"Ya, sama-sama, Vanila." 


Tak lama dari itu, ponsel Kai tiba-tiba saja berbunyi, Vanila kira itu adalah telepon tetapi ternyata hanya alarm "Ini hanya alarm, hari ini aku melewatkan satu mata kuliah, sepertinya aku tidak bisa melewatkan jam kedua ini," Kai mengangkat ponselnya "Sepertinya aku harus pergi, Vanila." Ucap Kai, "Sekarang?"


Kai mengangguk, ia lalu bangkit berdiri, memasukan ponsel ke dalam saku celananya, dan menatap Vanila sejenak "Terima kasih untuk hari ini, senang mengenalmu, by the way, kopinya sudah aku bayar." Kai tersenyum lalu pergi meninggalkan Vanila yang masih terpaku di kursinya "Ya, sampai jumpa, Kai. Senang mengenalmu," ucap Vanila, meskipun ucapan itu tidak akan terdengar oleh Kai karena pria itu sudah hilang dari balik pintu kedai kopi.


"Anak itu sedang menyelesaikan skripsinya," Vanila menoleh ketika suara itu terdengar, ternyata Canis. "Aku tidak bisa membantumu banyak soal Kai, beberapa bulan kedepan dia mungkin tidak akan ke tempat ini, tunggu saja, dia akan datang sendiri menghampiri," jelas Canis lalu menatap Vanila sambil tersenyum hangat.


"Ya, terima kasih, Canis."


~Vanila’s pov~ 

Kai, pria tinggi itu punya tawa yang lucu, sosok yang cukup filosofis, memiliki suara yang dalam, rambutnya yang tertata agak acak-acakkan, tetapi sangat manis dan juga memesona. Mengenalnya hari ini adalah keberuntungan yang datang padaku. Obrolan asyik dengannya melupakanku akan sesuatu, bahwa waktu sama seperti es krim, akan meleleh, tidak abadi. Begitupun waktuku dengan Kai. Wujudnya telah meghilang tetapi aromanya masih tersisa di sini.

"Kai, one day, i want to see you again, kamu sangat menyenangkan," gumamku seraya memperhatikan rintik hujan yang mulai turun.




Komentar

Postingan Populer